Pages

3.15.2011

Mencoba dan Melakukan

Saya membaca sebuah dialog yang baik sekali yang saya dapatkan dari salah satu buku kesukaan saya The 7 Habits of Highly Effective Teens yakni sebuah kisah tentang seorang kapten dan seorang letnan:

“Letnan, tolong kirimkan surat ini dong”.
“Akan saya lakukan sebisa saya, pak!”.
“Jangan, saya tidak mau kamu melakukan sebisamu. Saya mau kamu kirimkan surat ini”.
“Akan saya lakukan, kalau tidak saya mati, pak”.
“Kamu salah mengerti, letnan. Saya tidak mau kamu mati. Saya mau kamu kirim surat ini”.
Akhirnya sang letnan paham dan berkata, “Akan saya lakukan pak”.

***

Coba deh kita pikirkan baik-baik dalam kehidupan kita. Bahwa adakalanya di mana kita berkata, “Akan saya coba” atau adakalanya juga kita harus berkata, “Akan saya lakukan”. Bagaimanakah perasaanmu jika kamu berkata pada calon istri atau suami tentang apakah dia sudah siap menikah denganmu, lalu dia menjawab, “Baiklah, akan saya coba”? Tentu saja, itu akan terdengar aneh. (Setidaknya, bagi saya itu aneh).

Mencoba dan melakukan adalah hal yang berbeda. Saat kita mencoba suatu hal maka masih ada alasan bagi kita untuk tidak “melakukan” hal tersebut. Tapi saat kita melakukan suatu hal, di sana sudah tidak ada alasan lagi bahwa kita tidak melakukannya.

Sebenarnya, baik itu mencoba atau melakukan, itu sama-sama “melakukan”. Perbedaannya barangkali hanya ada pada perasaan kita sendiri. Kita sendiri khan yang tahu apa itu rasa manis atau rasa pahit. Kita juga bisa mengkategorikan tindakan-tindakan kita tentang mana yang masuk kategori mencoba dan mana yang masuk kategori melakukan. Ya, walau kita sendiri sulit untuk mendefinisikan yang mana mencoba dan yang mana melakukan. Sama seperti rasa manis, kita hanya tahu rasanya, tidak pernah tahu dengan pasti apa definisinya.

Bagi saya sendiri, saya tuh akan mencoba suatu hal jika hal tersebut tidak berdampak buruk (jika pun ada dampak buruknya, tidak terlalu besar dampaknya) dan ada unsur “untung-untungan”. Sedangkan saat saya akan melakukan suatu hal maka itu sudah masuk pada ranah keyakinan. Saya melakukan jika itu adalah baik dan benar, tidak melakukan jika nyata-nyatanya adalah kesalahan.

Idealnya dalam melakukan suatu hal, seharusnya memang kita berpijak pada apa yang baik dan benar. Kemudian, tidak melakukan jika memang itu pada kenyataannya adalah kesalahan. Walau, dalam kehidupan kadangkala yang namanya baik dan benar itu terlihat bias dalam pandangan kita. Oleh karena itu, kita harus mau terus belajar dan senantiasa memperbaiki diri kita yang dhoif atau lemah ini dalam mencari kebaikan dan kebenaran. Lalu, sebagai seorang pembelajar ternyata kita harus berani mencoba juga. Nah, maka dari itu seperti yang tadi saya sampaikan bahwa sebenarnya, baik itu mencoba atau melakukan, itu sama-sama “melakukan”, khan?

Berbicara soal baik dan benar, istilah yang orantua kita dulu sering sampaikan adalah bahwa orang dewasa itu ditandai saat pemikirannya bisa membedakan mana yang baik (benar) dan mana yang buruk atau salah. Kecuali kamu memang menganggap dirimu masih kanak-kanak, abaikan saja nasehat tersebut. Memang ini klise, tapi seperti kebanyakan klise, biasanya ini benar. Itu barangkali mengapa hal itu menjadi klise, ya?

Nasehat yang agung berikut bisa menjelaskan tentang bagaimana kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang bukan:

Dari Nawwas bin Sam’an ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.” (HR. Muslim).

Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra, dia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, ‘Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?’ Saya menjawab, ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.’” (Hadits hasan, kami riwayatkan dari dua musnad, Imam Ahmad bin Hanbal dan Darimi dengan sanad yang hasan)

Kuncinya ada pada hati dan jiwa kita. Maksudnya, ketika kita hendak mencoba atau melakukan sesuatu, coba perhatikan dahulu reaksi jiwa dan hati kita. Jika ia merasa tenang dan mantap, hendaklah kita melaksanankannya. Pikirkan dan renungkanlah baik-baik. Toh, apalah manisnya gula dalam mulut kita jika di hati kita menyimpan rasa pahit dan kegetiran. Ah, itu tidak akan mempermanis kita!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar