Pages

7.20.2011

Duduk Sejenak



Dalam sebuah kenangan akan kebersamaan yang singkat, terus terbuka cerita-cerita lama. Antara cinta dan kesalahan, mengaburkan logika dan realita. Sebuah perbedaan, sebuah keterpisahan. Walau dalam terpaan kerinduan, tak mampu menyampaikan rasa, bahkan langit seolah tak memihak, namun harapan selalu ada. Untuk esok dan seterusnya. Hingga kini kita hanya butuh menunggu, sampai hari nanti, atau sampai segalanya sudah tertutup. Maka besabarlah...
My Notes, 15 Februari 2008

Hidup memang kadang-kadang terasa begitu cepat. Sayangnya juga terkadang begitu sangat melelahkan. Kita penat, jenuh, suntuk, bosan, malas, ah.. dan masih banyak lagi hal yang begitu memuakkan! Bagaimana tidak, idealisme tentang diri ini yang sering digadang-gadangkan kenyataanya tak sesuai dengan realitas yang ada. Hidup menawarkan banyak pilihan. Namun tak semua pilihan itu selaras dengan siapa diri kita, dengan apa yang kita inginkan.

Saat banyak orang ingin bicara ini dan itu tapi justru kita ingin diam, atau saat orang-orang beramai-ramai mengatakan “iya” padahal kita ingin berkata “TIDAK!!!” tapi dengan kelunya lidah ini kita tak bisa berbuat sesuai apa yang kita inginkan. Sakit, sakit memang. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Jika tanpa terasa idealisme kita tergeser lantaran pikiran kita terbawa arus yang kita tidak menyadarinya. Belum lagi kondisi jiwa kita yang terus bergejolak mempengaruhi pikiran kita. Dalih kita, “Ya memang, begitulah kehidupan”. Kehidupan memang meletihkan. Kita jadi tidak peduli dengan situasi dan kondisi. Lelah, itulah yang sering kita rasakan. Kita jadi sering merasakan kejenuhan. Wajarkah? Sangat wajar.

Tapi yang harus kita ingat, gelombang dan badai itu harus dipahami sebagai ladang ujian, problematika hidup merupakan hal tidak bisa dipisahkan dari hidup, pahit getir menjadi bumbu yang harus dirasakan oleh setiap kita, jatuh bangun adalah tangga yang harus dilalui dalam menggapai sebuah cita-cita. Jangan pernah ada perasaan pesimis apalagi putus asa karena di balik semua itu pasti ada sesuatu yang dapat kita jadikan pengalaman yang berarti.

Lalu yang kita perlukan adalah berhenti sejenak. Berhenti ini tentu saja bukan berarti selesai atau sampai di sini. Ini untuk menjaga ketajaman diri kita agar bisa menangani masalah hidup dengan lebih baik. Nah, bayangkan kita sedang jalan-jalan ke hutan dan bertemu dengan seseorang yang sedang mati-matian memotong pohon.*

“Sedang ngapain?” kamu tanya.
“Menggergaji pohon”, jawabnya.
“Sudah berapa lama kamu menggergaji?”
“Empat jam, tetapi banyak kemajuan kok,” katanya, dengan keringat menetes dari dagunya.
“Rasanya gergajinya sudah tumpul”, katamu. “Mengapa tidak istirahat dulu sambil mengasahnya?”
“Mana mungkin, tolol. Aku sedang sibuk menggergaji”.
Akhirnya kita semua tahu siapa yang tolol, bukan?

Intinya, kita butuh waktu untuk melihat kondisi kita. Kita terkadang lupa bahwa ada yang harus kita tengok dalam diri kita, "ruhiyah" kita. Tentang nilai tertinggi dalam diri kita. Tentang kepercayaan atau keyakinan, inilah tentang keimanan. Kondisi yang selalu membutuhkan suasana yang teduh, tenang sehingga ia menjadi kekuatan yang akan melindungi jiwa kita dari berbagai rintangan dan halangan. Kita butuh ketegaran jiwa dalam menghadapi hiruk-pikuk kehidupan. Barangkali yang paling tepat adalah seperti yang senantiasa diajarkan oleh Muadz bin Jabal ra, kepada sahabatnya dengan ungkapannya yang menyejukkan hati mereka, “Mari (kita) duduk sesaat untuk beriman”.(*)


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar