Campakkan rasa cinta kepada kedudukan, kehormatan dan popularitas. Beramallah dengan keyakinan, keteguhan, dan keberanian, dengan tawakal kepada Allah dalam menunaikannya.
"Dan Allah tidaklah akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia "(QS. Al-Baqarah [2] : 143)
Hasan Al-Banna
Beberapa hari kebelakang, perenungan saya sangat dihiasi oleh perenungan akan eksistensi atau keberadaan dari diri ini. Kehidupan atau rutinitas sehari-hari yang mengolah pikiran dan perasaan saya membentuk satu sosok yang kini orang-orang sering memanggil saya: Aan Sopiyan. Tapi, bagi saya sendiri, “Siapa saya?”
Dua puluh tiga (23) tahun lebih hidup di dunia jika dalam perhitungan kalender Masehi (Syamsiah), tepatnya lahir tanggal 15 Mei tahun 1988. Atau hampir 24 tahun jika menghitung dari kalender Hijriah (Qomariah). Ibuku sering bercerita bahwa dahulu saya lahir di bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri. Setelah dihitung-hitung tepatnya lahir tanggal 29 Ramadhan 1408 dalam kalender Hijriah.
Selalu tertegun jika ada pertanyaan yang terlontar tentang “siapa saya?” dari diri sendiri atau bahkan dari orang lain saat bertanya “siapa kamu?”. Ya, siapa sih diri ini?
Lantas, kalau saya pikir-pikir lagi. Ternyata, hidup memang selalu terkait dengan pencarian jawaban tentang diri. Tentang bagaimana kita bisa mengenali diri sendiri. Untuk apa? Untuk mengenali yang lainnya. Untuk mengenali manusia-manusia, lingkungan, alam semesta, bahkan yang lebih dari itu semua: Tuhannya.
“Barangsiapa mengenal diri (sejati)nya, akan mengenal Tuhannya”.
Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu. Konon itu kata-kata Baginda Rasulullah SAW (meski masih banyak perdebatan).
Ada ilustrasi yang menarik dari sebuah buku, Doa Sang Katak, karya Anthony De Mello:
Dalam keadaan sakratul maut, seseorang tiba-tiba merasa berada di depan sebuah gerbang.
“Tok, tok, tok,” pintu diketuk.
“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.
Lalu dia seru saja, “Saya, Tuan.”
“Siapa kamu?”
“Watung, Tuan.”
“Apakah itu namamu?”
“Benar, Tuan.”
“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”
“Eh, saya anak lurah, Tuan.” Wajahnya mulai plonga-plongo.
“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.”
“Saya seorang insinyur, Tuan.”
“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya: siapa kamu?”
Sambil masih plonga-plongo karena nggak tahu mau menjawab apa, akhirnya ditemukanlah jawaban yang rada agamis sedikit.
“Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”
“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.”
“Saya ini manusia, Tuan. Saya setiap Jumat pergi jumatan ke masjid dan saya pernah kasih sedekah. Setiap lebaran, saya juga puasa dan bayar zakat.”
“Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.”
Akhirnya orang ini pergi melengos keluar, dengan wajah yang masih plonga-plongo.
Dia gagal di pintu pertama, terjegal justru oleh sebuah pertanyaan yang sungguh sederhana: siapa dirinya yang sebenarnya.
Nggak mudah, ya? Nyata-nyatanya kita nggak paham siapa diri kita sendiri. Kebiasaan kita hanya mengasosiasikan sesuatu terhadap diri kita: nama, keluarga, teman, pekerjaan, jabatan, kekayaan, jenis kelamin, bentuk tubuh, dan lain sebagainya. Kita melabeli diri kita dengan sesuatu itu, lalu merasa bahwa label itulah diri kita. Pikir lagi deh: apakah ‘aku’ sama dengan ‘tubuhku’?
Mungkin saja. Tapi bisakah kita mengabaikan perkataan agung: “Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”?
Saya teringat dengan tulisannya Ir. Bambang Pranggono, MBA dalam artikelnya “Melihat Allah di Sinai”. Jadi, dalam tulisan tersebut mengutip seorang Prof. Dr. Muhammad Tahir al-Qadri, ulama Pakistan pendiri Idarah Minhajul Qur’an di Lahore, yang memiliki kiat untuk bisa “melihat” Allah di dunia. Ia menguraikan makna ihsan secara berbeda dalam bukunya Islamic Philosophy of Human Life. Ketika malaikat Jibril bertanya tentang Iman dan Islam kepada Rasulullah saw. lalu dijelaskan oleh beliau, Jibril berkata, “Kamu benar.” Lalu Jibril bertanya lagi, “Apakah ihsan itu?” Rasul menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat Dia, maka bila kamu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” Jadi, ihsan adalah beribadah dengan merefleksikan sifat Allah, al Bashir, Yang Maha Melihat.
Tetapi bagaimana kita bisa beribadah seolah-olah melihat Dia? Menurut Prof. Tahir al-Qadri, kalimat hadis tadi harusnya dipenggal secara berbeda, bukannya fa in lam takun tarohu, tetapi fa in lam takun, tarohu. Terjemahnya ialah, “Maka bila kamu tidak ada, kamu akan melihat Dia”. Allahu Akbar.
Rupanya penghalang untuk bisa melihat Dia adalah sikap mendewakan diri. Ketika seseorang masih mempertahankan keberadaannya, masih mementingkan eksistensinya, masih mendahulukan kepentingannya, ia tidak akan bisa “melihat” Allah. Ia tidak akan bisa menghayati kebesaran-Nya. Ia tidak akan bisa mengerti keadilan-Nya. Ia tidak akan bisa menyaksikan keindahan-Nya. Ia tidak akan bisa merasakan kehangatan kasih sayang-Nya. Maka untuk bisa khusyu’ seolah-olah melihat Dia, kita harus meleburkan diri, menghancurkan diri, bagaikan gunung yang sirna mencair oleh tajalli, cahaya Allah. Semakin larut kita menghampakan diri dalam fana, semakin jelas wajah Allah bagi mata hati kita. Ihsan adalah Zero Mind Process. Lenyapkan dirimu, kamu akan “melihat” Allah. Wallahu A’lam.
Hikmahnya, bagi saya sendiri, jawaban paling esensi dari pertanyaan “Siapa saya?” atau “Siapa kamu?” adalah “Saya hanya seorang Hamba Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Tidak lebih..”(*)
Mungkin saja. Tapi bisakah kita mengabaikan perkataan agung: “Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”?
Saya teringat dengan tulisannya Ir. Bambang Pranggono, MBA dalam artikelnya “Melihat Allah di Sinai”. Jadi, dalam tulisan tersebut mengutip seorang Prof. Dr. Muhammad Tahir al-Qadri, ulama Pakistan pendiri Idarah Minhajul Qur’an di Lahore, yang memiliki kiat untuk bisa “melihat” Allah di dunia. Ia menguraikan makna ihsan secara berbeda dalam bukunya Islamic Philosophy of Human Life. Ketika malaikat Jibril bertanya tentang Iman dan Islam kepada Rasulullah saw. lalu dijelaskan oleh beliau, Jibril berkata, “Kamu benar.” Lalu Jibril bertanya lagi, “Apakah ihsan itu?” Rasul menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat Dia, maka bila kamu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” Jadi, ihsan adalah beribadah dengan merefleksikan sifat Allah, al Bashir, Yang Maha Melihat.
Tetapi bagaimana kita bisa beribadah seolah-olah melihat Dia? Menurut Prof. Tahir al-Qadri, kalimat hadis tadi harusnya dipenggal secara berbeda, bukannya fa in lam takun tarohu, tetapi fa in lam takun, tarohu. Terjemahnya ialah, “Maka bila kamu tidak ada, kamu akan melihat Dia”. Allahu Akbar.
Rupanya penghalang untuk bisa melihat Dia adalah sikap mendewakan diri. Ketika seseorang masih mempertahankan keberadaannya, masih mementingkan eksistensinya, masih mendahulukan kepentingannya, ia tidak akan bisa “melihat” Allah. Ia tidak akan bisa menghayati kebesaran-Nya. Ia tidak akan bisa mengerti keadilan-Nya. Ia tidak akan bisa menyaksikan keindahan-Nya. Ia tidak akan bisa merasakan kehangatan kasih sayang-Nya. Maka untuk bisa khusyu’ seolah-olah melihat Dia, kita harus meleburkan diri, menghancurkan diri, bagaikan gunung yang sirna mencair oleh tajalli, cahaya Allah. Semakin larut kita menghampakan diri dalam fana, semakin jelas wajah Allah bagi mata hati kita. Ihsan adalah Zero Mind Process. Lenyapkan dirimu, kamu akan “melihat” Allah. Wallahu A’lam.
Hikmahnya, bagi saya sendiri, jawaban paling esensi dari pertanyaan “Siapa saya?” atau “Siapa kamu?” adalah “Saya hanya seorang Hamba Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Tidak lebih..”(*)
Cimahi, 31 Juli 2011 (30 Sya'ban 1432 H)
Marhaban Ya Ramadhan
Aan Sopiyan
SUMBER:
http://www.ansopiy.com/2011/07/tak-lebih-dari-seorang-hamba.html
SUMBER:
http://www.ansopiy.com/2011/07/tak-lebih-dari-seorang-hamba.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar