
Mungkinkah ia…??
April 1993. CINTA
Aku berumur 24 tahun dan dia 28 tahun.
Sudah tiga tahun kami tidak bertemu.
Dulu ia adalah kakak tingkatku di kampus, dan aku sempat menjadi anggota
di organisasi yang dipimpinnya. Aku mengaguminya? Ya. Aku akui itu.
Bahkan mungkin rasanya hampir semua perempuan mengaguminya. Sosok
pemimpin yang nampak sempurna. Tapi semua perasaan ini hanya mampu aku
simpan dalam-dalam. Siapa aku? Dan aku juga tidak pernah membayangkan ia
datang ke rumahku untuk melamarku, kalaupun datang pasti hanya untuk
memberikan undangan pernikahannya dengan perempuan lain. Aku tidak
peduli. Life must go on! Tapi tak bisa kupungkiri, aku kagum dan suka
padanya.
Benar saja. Empat hari setelah ulang tahunku, dia datang membawa undangan pernikahannya!
* * *
* * *
Pukul 5.30 pagi. Rintik hujan menemani embun-embun bening. Aku menatap ke jendela berembun untuk kesekian kalinya.
“Tenanglah Vi,” tangan yang hangat merangkul bahuku.
“Tenanglah Vi,” tangan yang hangat merangkul bahuku.
Kami bertatapan di cermin. Ia memegang
pipiku, memberi isyarat untuk tersenyum. “Jangan khawatir, hanya tinggal
menunggu waktu, beberapa jam lagi ia akan menjadi milikmu seutuhnya.”
Ya… seutuhnya.
Suara anak-anak yang berlari sambil
bermain hujan sepulang mengaji subuh membuat aku ingin menatap kembali
jendela. Di antara anak-anak yang ceria itu, hanya dia yang berteduh
sendirian di bawah pohon nangka. Aku memperhatikan pakaiannya yang serba
hitam. Mungkin karena merasa diperhatikan, ia balas menatapku.
Tersenyum dingin.
Aku menatap kembali cermin, melihat Mba
Yanti yang dengan tekun menata bunga melati di kepalaku. Kembali aku
menatap jendela, melihat anak-anak yang masih bermain hujan. Dan aku
sadari sesuatu. Anak berpakaian hitam itu sudah tak ada di bawah pohon.
* * *
* * *
“Bagaimana kabarnya?”
“Baik.”
“Bekerja?”
“Berwirausaha.”
“Hmm, bagus itu.”
“Baik.”
“Bekerja?”
“Berwirausaha.”
“Hmm, bagus itu.”
Suasana hening. Tiga tahun tidak bertemu
dengannya membuat aku sedikit kikuk. Padahal seharusnya aku biasa
saja. Sungguh, aku memang mengaguminya, tapi tak ada harapan lebih. Dulu
kami sering berdiskusi banyak hal, ia juga sering bercerita banyak hal.
Tapi itu dilakukannya juga pada teman-teman perempuan lain. Nothing special.
“Hmm, ini saya mau memberikan undangan pernikahan saya.”
“Alhamdulillah, akhirnya menikah juga.”
“Ya sangat Alhamdulillah.” Senyum tersungging di wajahnya.
“Saya pamit.”
“Silahkan, terimakasih sudah mengundang. Semoga segala persiapannya lancar.”
* * *
“Alhamdulillah, akhirnya menikah juga.”
“Ya sangat Alhamdulillah.” Senyum tersungging di wajahnya.
“Saya pamit.”
“Silahkan, terimakasih sudah mengundang. Semoga segala persiapannya lancar.”
* * *
Hujan semakin deras turun. Aku menatap
wajahku di cermin. Aku tidak percaya hari ini aku menikah. Tapi,
entahlah ada perasaan aneh muncul. Anak tadi, seolah-olah membawa sebuah
jawaban.
“Cantiknya adikku ini.” Mba Yanti tersenyum sambil menatapku dari cermin.
“Mba.. aku… merasa.. aku merasa aneh.”
“Haha. Mba juga dulu begitu ketika menikah. Wajar. Setelah akad semuanya akan lebih tenang. Sunguh.”
“ini berbeda Mba. Bukan gugup biasa. Entahlah, tapi aku merasa..aku merasa takut kehilangannya. Sangat takut. Aku merasa,,aku akan sendiri.”
“Vi, jangan melamun!”
“Eeh, iya Mba.”
“Satu jam lagi pangeranmu datang, Sayang. Bersiaplah.”
* * *
“Mba.. aku… merasa.. aku merasa aneh.”
“Haha. Mba juga dulu begitu ketika menikah. Wajar. Setelah akad semuanya akan lebih tenang. Sunguh.”
“ini berbeda Mba. Bukan gugup biasa. Entahlah, tapi aku merasa..aku merasa takut kehilangannya. Sangat takut. Aku merasa,,aku akan sendiri.”
“Vi, jangan melamun!”
“Eeh, iya Mba.”
“Satu jam lagi pangeranmu datang, Sayang. Bersiaplah.”
* * *
Aku menangis. Entah ini tangis apa.
Cemburu? Oh ya, tentu. Aku belum pernah jatuh cinta sampai seperti ini.
Mengaguminya selama lima tahun. Terpendam rapih dalam hati. Pernah aku
berharap bersanding dengannya, tapi itu semua aku kubur. Hanya menjadi
dongeng sebelum tidur.
Aku benar-benar kagum padanya. Sosok
yang selalu membuat aku nyaman. Aku berharap setelah ia lulus kuliah, ia
akan pergi dari kampus dan tidak kembali meski sekedar untuk organisasi
kami. Sehingga aku bisa melupakan semua angan ini. Tapi ternyata,
kepergiannya hanya membuat aku semakin memperkuat doa agar aku bisa
bertemu dengannya kembali. Meski terkadang aku takut menghadapi
kenyataan yang tak pernah sesuai dengan harapku.
Ia memang datang. Tuhan mengabulkan doaku. Sayangnya, kedatangan itu membentangkan jurang dan tebing. Berakhirlah semua.
“Vi, kamu kuat! Kamu perempuan yang kuat! Beranilah menerima kenyataan ini.”
Suara hatiku memaksa aku untuk membuka
undangan itu. Memaksa aku untuk menerima kenyataan ada perempuan
beruntung yang akan mendampinginya.
“Apa????”
* * *
“Apa????”
* * *
Juli 1993. MATI
Tiga bulan setelah luka itu, aku
memutuskan menikah segera. Pahit memang, tapi semua tak bertahan lama.
Manusia sering lupa, bahwa Tuhanlah sebaik-baik pemberi keputusan.
Kebahagiaan itu hadir menemani sisa-sisa musim hujan, akan segera
berganti menjadi musim kemarau yang hangat.
Aku pun tak menyangka betapa cepatnya aku mengambil keputusan ini. Aku menikah. Beberapa jam lagi saja, ia akan jadi milikku.
Matahari semakin tinggi. Waktu dhuha
menjemput rombongan mempelai pria. Aku hanya bisa melihat dari balik
jendela. Setelah semua “Sah” barulah aku akan menemuinya. Ia yang kini
akan jadi milikku.
Aku menatapnya yang tengah disambut oleh
tradisi kecil keluarga kami. Ada perasaan yang aneh. Aku mencoba
memperhatikannya lekat. Jarakku dengannya terpaut lima meter. Aku
menangis. Entah mengapa.
Tiba-tiba, ia menatapku dari luar sana.
Tapi aku tahu, ia tidak sungguh-sungguh menatapku. Jendela ini, hanya
orang dalam yang mampu melihat keluar, sedangkan orang luar tak bisa
melihat kami yang ada di dalam. Tapi, dia seolah-olah menatapku.
Kemudian, untuk beberapa saat kami seolah-olah benar-benar saling
bertatap. Dan ia tersenyum. Tulus. Bahkan sangat tulus dan tertulus. Aku
segera menundukkan pandangan, memohon ampun padaNya.
* * *
* * *
Agustus 1993. …..
Aku duduk di bangku kecil tidak jauh dari pemakaman. Menatap kosong pada sebuah lahan di depan sana.
Aku sendirian.
Aku sendirian.
Sebuah amplop besar berwarna jingga aku
keluarkan. Itu undangan pernikahan kami. Aku membuka kembali undangan
itu. Ada bekas tetes air mata yang membuat bagian undangan itu luntur.
Namaku terukir disana. Nama yang bersanding dengan nama indah di
atasnya.
* * *
* * *
Aku masih menyimpan no.telponya. Ya, masih. Aku harus sabar menanti sampai kira-kira ia sampai di rumahnya.
3 jam. Cukup. Pasti dia sudah sampai di rumah. Aku harus menelponnya!
3 jam. Cukup. Pasti dia sudah sampai di rumah. Aku harus menelponnya!
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikusalam. Maaf Ka undangan yang tadi diberikan. Saya sungguh tidak mengerti.”
“Saya mohon maaf sebelumnya. Ya, itu undangan pernikahan saya. Hanya saja, baru Via-lah yang menerima undangan itu. Karena,.. ya..itu alasannya. Saya ingin bertanya, apa Via mau jika nama Via dicantumkan sebagai pengantin perempuannya?”
“Jadi, maksudnya..kita menikah?”
“Jika Via bersedia namanya dicantumkan untuk menjadi pengantin wanita saya kelak, saya akan datang membawa orangtua saya ke rumah Via. Hari ini juga.”
* * *
“Wa’alaikusalam. Maaf Ka undangan yang tadi diberikan. Saya sungguh tidak mengerti.”
“Saya mohon maaf sebelumnya. Ya, itu undangan pernikahan saya. Hanya saja, baru Via-lah yang menerima undangan itu. Karena,.. ya..itu alasannya. Saya ingin bertanya, apa Via mau jika nama Via dicantumkan sebagai pengantin perempuannya?”
“Jadi, maksudnya..kita menikah?”
“Jika Via bersedia namanya dicantumkan untuk menjadi pengantin wanita saya kelak, saya akan datang membawa orangtua saya ke rumah Via. Hari ini juga.”
* * *
Aku tidak pernah menyangka Tuhan
mengabulkannya. Aku akan menikah dengannya. Seseorang yang lima tahun
ini aku kagumi. Yang diam-diam hanya kubisikkan di sepertiga malam.
Ia dan keluarganya sudah ada di ruang
tamu rumahku. Beberapa menit lagi ijab qobul akan dimulai. Perasaan ini,
ahh…mungkin semua orang yang menikah pun merasakan ini.
Aku duduk di dekat pintu. Siap mendengarkan ijab qobul. Perasaanku sungguh sangat tidak nyaman. Tak menentu. Tiba-tiba aku teringat anak laki-laki itu.
Aku duduk di dekat pintu. Siap mendengarkan ijab qobul. Perasaanku sungguh sangat tidak nyaman. Tak menentu. Tiba-tiba aku teringat anak laki-laki itu.
“Saya nikahkan Ananda kepada Anak kandung saya, Annisa Viandra dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah.”
“Saya terima nik…”
* * *
“Saya terima nik…”
* * *
Air mata itu belum juga mengering. Aku
tak jadi menikah. Aku tak jadi bersanding dengannya. Aku tak jadi untuk
bisa menemani hari-harinya. Aku tak jadi memilikinya. Bahkan aku tak
sempat sah menjadi istrinya.
Ia pergi. Meninggalkanku dalam balutan
kebaya putih. Sebelum sempat ia berijab qobul, malaikat maut
menjemputnya. Tiba-tiba saja ia tergolek lemas di meja ijab qobul, lalu
tak benyawa. Semua ini memberi jawaban atas ketidaknyamanan hati selama
ini.
Mungkinkah anak lelaki di bawah pohon nangka itu….
* * *
* * *
Reianamias | Kolong Langit, 15 Januari 2012
Sumber: http://www.inspirasi-tracs.com/?p=27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar