Pages

6.08.2011

Catatan Lalu: Selalu Terdengar Baru



Hidup dengan sahabat menjadikan hidupku lebih berwarna. Tidak hanya sekadar warna-warna keceriaan, tapi juga warni-warni kesalahan menjadikannya dalam kesedihan. Hidupku dengan sahabatku adalah warna-warni.***


Seorang sahabatku, sekitar beberapa hari yang lalu bercerita tentang kehidupannya yang tak pernah aku sangka-sangka sangat memiriskan hati. Siapa yang mengira dalam keceriaan tertanam kesedihan yang begitu mendalam? Diri seorang pejuang, apa memang harus seperti itu? Mempertunjukkan kebahagiaan pada orang lain dan menanam kesedihan dalam diri sendiri.

Lantas, cerita kehidupannya pun terus mengalir. Ada tutur haru, sendu, malu, dan ragu. Kisahnya cukup klasik, terkait masalah keluarga. Tapi kenapa hal yang klasik ada di jaman modern seperti ini? Dan nyatanya ada, bahkan mungkin tidak sedikit. Itu masalahnya. Tak habis pikir diriku menelaah ceritanya.

Aku pikir hanya sinetron saja yang menayangkan kisah ironi seperti itu. Tapi Tuhan pun menunjukkannya padaku. Dan itu terjadi pada temanku, sebagai salah satu pelakunya.***

Ada sebuah kesadaran lagi. Kadang masalah yang kita hadapi tidaklah terlalu berat bila kita bandingkan dengan masalah orang lain. Hany kita jarang melihat itu.

Kita harus bisa menatap tinggi hidup kita tapi tetap harus berpijak pada bumi. Di dunia ini selalu ada sesuatu yang lebih dari kita. Lebih sulit, lebih rumit, lebih lemah atau lebih besar, lebih jauh, lebih tinggi, dan lebih.. lebih.. Ingat saja peribahasa "di atas langit masih ada langit" dan bisa jadi di bawah bumi masih ada ruang-ruang kosong. Mungkin itu kelihatan seperti nasehat lama, tapi sesungguhnya akan selalu terdengar baru jika kita sadar di mana posisi kita.***

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. - Sapardi Djoko Damono, 1973


Catatan lalu:
Cimahi, 12 Oktober 2009
Aan Sopiyan
(www.ansopiy.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar