sumber gambar: http://lulussutopo.blogspot.com/2010/12/stop-in-style-halte-bis-layaknya-sebuah.html
Jiwaku—bagaikan kuda yang berlari menembus malam; makin kencang derapnya, makin cepat menjelang fajar. ~ Khahlil Gibran, Kata-kata Mutiara Sang Guru.
Di Halte itu, Ibu tua itu gelisah, tatapannya beku seolah mencari satu titik pandang yang sedang ia pahami. Terkadang tangannya meremas sapu tangan yang dipegangnya, atau tangannya malah saling meremas sendiri. Ada raut khawatir dan berharap cemas pada wajahnya. Beberapa kali pula ia menarik nafas panjang kemudian dengan perlahan menghembuskannya.
Di Halte itu, Ibu tua itu gelisah, tatapannya beku seolah mencari satu titik pandang yang sedang ia pahami. Terkadang tangannya meremas sapu tangan yang dipegangnya, atau tangannya malah saling meremas sendiri. Ada raut khawatir dan berharap cemas pada wajahnya. Beberapa kali pula ia menarik nafas panjang kemudian dengan perlahan menghembuskannya.
Lalu
ada bus yang melintas, kemudian berhenti tak jauh dari posisi si Ibu
tadi. Nyatalah, ia menanti kedatangan bus itu, menanti kehadiran
penumpangnya. Diperhatikannya setiap orang yang turun. Namun, tidak ada
satu pun yang ia nanti-nantikan tampak dihadapannya. Raut wajah yang
cemas yang tadi saya lihat berubah menjadi raut wajah kekecewaan. Saya
sapa si Ibu, “Ibu menunggu seseorang?” “Seseorang? Bukan. Aku menunggu
cucuku. Cucuku yang akan datang sore ini bersama anak dan menantuku.”
Ini cerita kecil saja..
Tapi
tak lama kemudian yang dinanti-nanti si Ibu datang. Tak disangka mereka
justru sudah dibelakang kami. Ibu tua itu terkejut bahagia dan langsung
saja menggendong lalu memeluk cucunya yang terlihat lucu itu. Si Ibu
mungkin sudah lebih dari 2 jam menunggu dan barangkali badannya sudah
pegal-pegal tadi. Tapi ia tersenyum suka cita setelah bertemu dengan
orang-orang yang dicintainya, dan mungkin sudah hilang lelahnya saat
menunggu itu. Ah, jadilah pertemuan yang mengharukan. Pertemuan yang
“sesuatu” pada mereka yang saling mengasihi dan menyayangi.
Konon,
menunggu itu adalah pekerjaan yang sulit. Tapi tetap relatif,
tergantung pada kondisinya. Biasanya menunggu itu juga terkait dengan
yang namanya kesabaran.
Kita
menunggu dengan cara berbeda. Ada yang menanti dengan dililit rasa
takut. Ada yang menunggu dengan rindu. Yang sabar dan yang kurang sabar
memberikan warna tersendiri pada menunggu. Yang suka sibuk mengisi waktu
dengan membaca, misalnya. Yang lain melongo sambil bertopang dagu. Maka
waktu pun terasa beda hakikatnya: untuk yang satu amat singkat sekali,
untuk yang lain menanti hanya menjelaskan dirinya menjadi sebuah
“keabadian”.
Namun
salah satu hal yang pasti ialah menunggu tak bisa lepas dari berharap.
Harapan yang menjadi penggerak mesin kehidupan kita. Jika Senin tak
berhasil, kita berharap Selasa bisa menebus. Bila Selasa juga gagal,
semoga Rabu bisa terkabul. Dan begitu seterusnya.
Diam-diam
juga kita masuk ke “ruang tunggu” dalam rasa sebuah penantian. Kali ini
ruang tunggu itu pun lain dari yang lain: itulah hati kita sendiri.
Hati yang menyimpan setiap rasa kita. Rasa yang ingin dikatakan.
Hingga saatnya nanti, rasa itu tepat kamu ucapkan.
Selayaknya antrian kehidupan, pada saatnya, indah pada waktunya.
Semoga
masa penantian ini tidak hanya ditandai sekadar memiliki nomor antrian,
tapi memiliki daya untuk membasuh hidup rohani kita yang barangkali
agak berdebu, terlupakan, oleh derasnya perjuangan hidup sehari-hari
yang barangkali sudah usang.
Maka penantian hanya syarat yang harus dilalui dalam hal apa pun. Bersabarlah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar